Sarasehan Desa Wisata Di FDWB 2022 Perlu Penataan Sejak Dari Konsep

Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata (Dinporabudpar) Kabupaten Blora menggelar sarasehan desa wisata pada hari kedua Festival Desa Wisata Blora (FDWB) 2022, Minggu, 20 November 2022. Sarasehan yang diikuti juga Yarsono, Kepala Dinas Pariwisata Kepemudaan Olahraga (Disparpora) Kabupaten Batang ini mengevaluasi desa-desa wisata yang telah ada di Kabupaten Blora. Apa saja evaluasinya?

TRI Harjono, konsultan desa wisata dari Desa Wisata Institute Yogyakarta menyebut, banyak dari desa-desa yang ingin mengembangkan desa wisata keliru sejak dari konsep pertamanya. Menurutnya, konsep desa wisata berbeda dengan konsep wisata desa. Bila wisata desa memerlukan modal uang yang besar dan dalam waktu yang singkat, maka desa wisata memerlukan modal sosial yang besar dan waktunya bisa lebih lama. Selain itu, wisata desa berangkatnya dari mendapatkan keuntungan yang besar, sementara desa wisata berangkatnya dari mendapatkan nilai tambah dari kehidupan sosial yang dijalani masyarakat di desa.

"Keterkaitan dengan desa wisata, bahwa konsep desa wisata ini perlu kita ketahui lebih awal sebagai dasar kita memahami konsep-konsep desa wisata, yakni interaksi antara atraksi dan akomodasi. Tidak menjual tiket tapi menjual paket," jelasnya dalam sarasehan yang diikuti desa-desa wisata yang ada di Blora.

Selain Pokdarwis (kelompok sadar wisata) Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, ikut dalam sarasehan ini Pokdarwis dari Desa Tempuran di Kecamatan Blora, Desa Tempel Lemahbang di Kecamatan Jepon, juga Pokdarwis Desa Singonegoro di Kecamatan Jiken, serta beberapa desa lain.

Atraksi, menurut juri FDWB 2022 ini, adalah kehidupan sosial masyarakat di desa. "Inilah yang kita jual, dari paket keseharian masyarakat yang ada. Sementara akomodasi adalah rumah penduduk yang menyiapkan maksimalnya 4 kamar. Inilah konsep desa wisata," terangnya.

Konsep berikutnya, menurutnya adalah perlu membedakan terlebih dulu antara wisata desa dan desa wisata.

"Wisata desa lebih pada profit oriented (orientasi keuntungan). Bagaimana kita membuat wisata desa itu mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Biasanya ini butuh dana yang cukup besar. Karena kita membuat tempat wisata dan ornamennya, dan kita berprosesnya pada uang."

Sementara desa wisata lebih pada apa adanya wisata yang ada di desa. "Tidak boleh mengada-ada," tandasnya.

Tri Harjono mengingatkan, desa-desa yang ingin mengembangkan desa wisata dilarang untuk berpikir uang terlebih dulu. "Ketika kita mengembangkan desa wisata, jangan berpikir tentang uang yang didapatkan. Tetapi bagaimana kita bisa memberikan nilai tambah bagi masyarakat yang ada di (desa) situ. Bagaimana membangun kegotong-royongan dan pemberdayaan (masyarakat)," paparnya.

Ia lantas mencontohkan adanya ternak kambing etawa. Dengan konsep desa wisata, pengunjung desa wisata akan mendapat pembelajaran tentang cara beternaknya. Peternak tak hanya menjual ternaknya, tapi ada nilai tambah yang didapat dari kunjungan wisatawan ke desa wisata. Bahkan tak hanya warga yang memiliki ternak yang mendapat nilai tambah paket desa wisata, warga yang memiliki sawah bisa juga mendapat nilai tambah.

"Yang kita jual edukasinya," imbuhnya.

Dengan daya tarik apa adanya yang ada di desa, pengunjung dari kota bisa melepaskan kepenatannya dan mendapatkan kegembiraan saat berkunjung ke desa wisata.

"Permasalahannya adalah sering masyarakat tidak sabar (ingin segera mendapatkan hasil berupa kunjungan). Padahal perlu proses," ujarnya.

Proses ini termasuk membentuk karakter sosial masyarakat yang ramah dalam menyambut tamu, kepiawaian dalam memandu tamu, guyub-rukun dan kegotong-royongannya, serta karakter-karakter sosial dalam menyajikan ke-khas-an yang ada di desa wisata tersebut.

"Paket wisatanya ada welcome drink yang menyajikan minuman khas desa, lalu ada welcome dance. Bagaimana cara menyajikan (tarian menyambut tamu) yang bisa melibatkan pengunjung. Perlu trik, bagaimana wisatawan yang datang bisa ikut menari. Di sini perlu pemandu yang piawai," sebutnya.

Dengan melibatkan wisatawan desa wisata, ada pengalaman-pengalaman emosional yang bisa didapat dari kunjungan wisata ke desa yang membekas, yang bisa dibawa pulang ke kota.

Terakhir, Tri Harjono memberikan evaluasi perlunya pengorganisasian dalam kegiatan paket wisata. "Ketua pokdarwisnya perlu memberikan briefing (pengarahan) kepada anggotanya. Siapa tugas apa, siapa berbuat apa. Jangan sampai ada mis, benar-benar harus disiapkan."

***